Akhir - Pagi itu aku terbangun, langit-langit ruangan ini begitu kaku, kipas kecil berputar-putar, anginnya lemah, putarannya seperti terganggu, sebentar-sebentar ia mengeluarkan bunyi blejek-blejek, seperti ada sesuatu menghalangi putarannya. Biarlah, sedari dulu memang begitu, sejak pertama kali kipas itu dipasang ia memang begitu. Entahlah, setiap kali aku ingin memperbaiki kipas tersebut, selalu ada perasaan yang menghentikan aku. Jadi kubiarkan saja langit-langit ruangan ini, setidaknya ia hanya monoton secara visual.
Aku melakukan hal yang biasa kulakukan pagi itu, bangun, kemudian minum air putih satu gelas, sebuah ritual dasar ketika bangun tidur. Aku masih ingat ketika pertamakali melakukan ritual tersebut, lambungku perih. Setidaknya hal itu lebih baik daripada harus linglung setiap kali bangun tidur. Semakin lama lambungku semakin terbiasa, bahkan terkadang satu gelas masih saja kurang.
Jika bangun tidur kemudiam meminum air putih adalah ritual, maka air dalam gelas yang selalu kuminum sampai tak tersisa adalah sebuah kepastian. Dan aku tak yakin kapan kepastian itu muncul, mungkin saja karena omelan ibuku yang setiap hari marah-marah ketika air yang kuminum tak pernah habis. Yah siapa tahu, seseorang bisa jadi seperti sekarang, tak lepas dari apa yang ia alami saat kecil, bisa saja.
Aku sebenarnya harus keluar kota hari ini untuk menghadiri resepsi pernikahan saudara, dan seperti biasa aku sudah merencanakan perjalannya, kapan aku berangkat, rute, pakaian, dan sebagainya. Hal ini selalu terjadi ketika bepergian ke tempat yang aku tahu, selalu seperti ini. Keluar kota untuk menghadiri pernikahan bukanlah hal yang menjadi perhatianku saat ini. Ada hal lain yang selalu berputar-putar di kepalaku, kami akan bertemu malam ini, di kota yang sama dimana aku akan pergi.
Hari itu waktu terasa singkat, kereta yang ku tunggu tiba tepat waktu jam 3 sore. Kami saling berkirim pesan satu sama lain, belum ada rencana kami bertemu dimana malam ini, aku sendiri tak ambil pusing soal ini karna bagaimanapun dia lebih tahu dimana tempat nyaman untuk bertemu jadi urusan tempat biarlah dia yang memilih.
Bagiku, kereta merupakan pilihan logis jika ingin berpergian kemanapun, keamanannya terjamin, jadwalnya konkret dan yang paling penting tak ada rasa pusing atau mual ketika membaca sesuatu. Sepertinya aku lebih cocok dengan transportasi jenis ini. Setelah 2 jam lebih, kereta yang kutumpangi sampai di stasiun tujuanku.
“aku udah sampe nih, kamu dimana?” tulisku di pesan.
“aku lagi di rumah teteh, kita ketemuannya rada maleman aja, kamu kemana dulu kek, maen ke kosan temen kamu dulu tah.” dia membalas.
“orang mau ketemu kamu geh, bukan mau ketemu temen.”
“yaudah maen-maen dulu kemana kek, lagian udah lama engga maen kesini kan.”
“yaudah.” balasku singkat.
Aku akhirnya berkeliling kota itu, kuputuskan untuk makan malam dahulu, aku butuh makan berat, lagipula aku berani bertaruh dia tak akan mau makan berat. Mungkin aku terlalu banyak tahu tentang dirinya sampai terkadang aku pura-pura tak tahu walaupun aku sempat kaget ketika dia bilang warna kesukaannya ungu.
Menunggu wanita memang bukan kepalang lamanya, semenjak datang aku sudah berkeliling kesana kemari, ke toko buku, makan, nonton turnamen bulu tangkis, sampai-sampai aku mau mendaftar di turnamen tersebut. Untung saja ini tak berlangsung lebih lama, beberapa pesannya mengurungkanku untuk mengambil formulir pendaftaran tersebut.
“kamu dimana?”
“lagi nonton orang maen bulutangkis.” balasku.
“serius kamu dimana sekarang?”
“lya ini lagi nonton orang maen bulutangkis di Gor.”
“gor dimana?”
Aku keluar dari gor tersebut, mencari-cari plang nama gor dan ketemu tapi kubalas dengan jawaban lain.
“aku di gor yang ada di alun-alun.”
“aku kesana sekarang, jangan kemana-mana.”
“iyah, aku nungguin kamu udah kayak nunggu bidadari turun dari kayangan.”
“iya bentar, ini mau berangkat.”
Nyatanya 1 ikat kacang rebus telah habis aku makan, dan dia masih belum menunjukan batang hidungnya. Pesan darinya kembali masuk.
“kamu dimana?”
“kamu yang dimana?” balasku.
“kita ketemunya di warung x aja yah.” pintanya.
“yaudah aku kesana sekarang.”
Warung x tak jauh dari gor tersebut, walaupun ternyata tempat ini bukan warung yang ada dalam fikiran orang-orang pada umumnya. Akupun seketika langsung faham kenapa tempat itu dinamai seperti itu. Kami akhirnya bertemu di parkiran tempat tersebut, dalam hati aku menggerutu.
“pantes lama, gila ini mah kalo kondangan pengantin cewenya juga bakal kalah saing.”
Jadi aku putuskan untuk acuh sama penampilannya, yah sedikit jahat memang.
“nih kenalin sodara aku, kita keliatan mirip kan!” ungkapnya dengan ceria.
Aku pura-pura memperhatikan sejenak, tangan kiri menyilang ke dada dan tangan kanan menampa dagu. Dalam hati aku memaki.
“mirip darimana, ya cantikan kamu lah. “
tapi tentu saja aku tak bisa seenaknya berkata demikian. Ada hal yang aku percaya, jangan pernah membandingkan wanita satu dengan wanita lainnya. Sayangnya aku tak bisa berbohong didepannya, jadi kujawab saja seadanya.
“engga ah, emang siapa yang bilang mirip?”
“banyak loh, malah banyak yang bilang kita kembar.” dia menjawab.
Kembar dari hongkong, dalam hati aku berucap. Tapi ujung-ujungnya aku menyerah juga.
“iyah iyah mirip.” aku terpaksa mengiyakan.
Obrolan malam itu nyatanya berjalan hambar, suasana tempat itu lah yang sepertinya menjadikan segala sesuatu serasa monoton. Aku mungkin akan memberikan gelar tempat terburuk untuk hangout, mungkin tempat ini lebih cocok untuk orang-orang frustasi, lalu pulang dalam keadaan terhunyung-hunyung.
Tapi tetap saja ada hal menarik disana, sirkulasi udara dari pendingin ruangan di tempat tersebut menjalar di tembok tepat dibelakang kursi, turun dari atas kepala hingga ke kaki, aku sampai yakin orang akan masuk angin jika saja duduk disana selama 15 menit. Tak butuh lama bagi aku dan dia bereaksi pada hal ini, tangan dan kakiku langsung dingin seperti mayat, sedangkan dia mulai gejala flu karna tak bisa kedinginan. Dia akhirnya bersin dan langsung mengeluh.
“gini kalo dingin, pasti langsung begini.”
suaranya berubah menjadi sedikit bindeng. Aku langsung membenarkan posisi dudukku, tangan kiriku ku bentangkan agar angin tak langsung mengenai pundaknya. Dia malah mendekatkan tubuhnya lalu menyandarkan kepalanya di pundakku. Yah aku rangkul saja sekalian, Aroma parfumnya langsung menyengat, dalam hati aku menyumpahi diri sendiri.
“mampus gw, bisa 7 hari 7 malem ini mah wanginya engga ilang.”
Tak lama ia kemudian terbangun, ia seperti menyadari suatu hal.
“kita kan udah bukan siapa-siapa lagi.” ucapnya pelan.
“ya trus, emang kenapa?” aku bingung.
“ya kita engga bisa begini.” raut mukanya terlihat serius.
“itu kan cuman status.” sanggahku.
“ya engga bisa.” ucapnya.
Ia kemudian membenarkan posisi duduknya, menjauh dari sandaran kursi, menjauh dari angin. Kami maaih duduk berdekatan, tapi bagiku ia seperti telah menjauh. Aku kembali ingat kata-katanya kemarin.
“yaudah, kita mulai sekarang masing-masing aja. Kamu ya kamu, aku ya aku.”
Entah mengapa perasaan aneh yang hari ini aku rasakan terjawab, kami telah menjadi orang lain yang berbeda, hanya perasaan yang masih tersisa yang membuat kami tetap dekat.
Malam telah larut, kami akhirnya berpisah, dia pulang ke rumah tetehnya, aku sengaja tak menjawab akan kemana, aku hanya berjalan, berjalan, dan berjalan. Beberapa pesan dan panggilan masuk darinya tak kujawab, malam itu aku sadari satu hal, semua telah berakhir, hari yang datang akan berbeda.
Mereka sebenernya cocok menurut gw, cowonya aneh dan rada-rada gitu, trus cewenya juga sama. Mereka juga kayaknya engga punya alasan jelas gitu kenapa udahan, padahal mereka berdua sama-sama punya rasa gitu. Mungkin gw harus coba tanya langsung deh.
Gw: halo broh pa kabar, lu kenapa kok bisa udahan sama dia?
Broh: wah kayaknya lu harus nanya ke dia juga deh!
Gw: telkonfrence aja broh, biar sekaligus.
Broh: oke gw sambungin nih. Hey!
Dia: iyah, ada apa?
Gw: halo kalian berdua, gw mau nanya nih kalian berdua kok bisa udahan gitu aja sih?
Broh dan dia: ya gitu lah
Gw: ya gitu gimana maksudnya?
Broh dan dia: orang lu yang nulis ceritanya geh.
Gw: ohh gitu tohh, jadi ini jebakan betmen toh ????????????